Jumat, 12 September 2008

Pendidikan Yang Membangun Entrepreneurship


Masalah pengangguran di Indonesia belakangan ini menjadi isu yang semakin penting dan menarik untuk diamati karena selain jumlahnya semakin membesar, ternyata hal itu juga banyak menimpa tenaga terdidik, yakni tenaga kerja yang telah mengikuti pendidikan dan berijazah formal.

Fenomena semacam ini menjadi semakin mendesak diantisipasi, mengingat posisi tenaga kerja tersebut lebih-lebih yang memiliki ijazah sarjana—merupakan kelompok masyarakat yang memiliki posisi yang pas dalam spesifikasi sosial.

Adanya pengangguran tenaga terdidik (sarjana dan/atau program diploma) yang terutama terkonsentrasi pada beberapa disiplin ilmu tertentu (ilmu-ilmu sosial, pendidikan, dan pertanian), yang pada saat ini tercatat 4.516.100 orang (Media Indonesia, 4 September 2008) telah mengisyaratkan mengenai arti penting perencanaan kebutuhan dan penyediaan tenaga terdidik di pasar tenaga kerja. Oleh karenanya, mutlak dibutuhkan koordinasi antardepartemen untuk memroyeksikannya.


Strategi perguruan tinggi di Indonesia yang akhir-akhir ini cenderung memberi tekanan pada produktivitas pencetakan jumlah sarjana/program diploma baru, agaknya tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Karena kenyataannya, kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi sarjana/diploma tidaklah sebesar suplainya—maka seharusnya kita juga tidak terpancang pada target untuk memroduksi tenaga terdidik dalam jumlah yang sebanyak mungkin.


Selama ini timbul kesan, bahwa, perguruan tinggi kita berlomba untuk mencetak sebanyak mungkin sarjana—semacam crash program—untuk “mendorong pembangunan”. Strategi yang demikian ternyata justru akan menimbulkan banyak masalah jika ternyata produktivitas yang tinggi tersebut tidak diikuti dengan daya serap pasar yang sebanding.


Kini momentum terjadinya pengangguran tenaga terdidik dalam jumlah besar, hendaknya merupakan alasan yang tepat untuk memberi tekanan yang lebih pada aspek kualitas pendidikan, dengan meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi.


Sekarang ini akan lebih baik jika lembaga-lembaga pendidikan kita, utamanya perguruan tinggi mengarahkan programnya untuk membangun manusia entrepreneurship.


Untuk membangun suasana entrepreneurship, diperlukan komitmen tinggi dari manajemen dan komunitas pendidikan, terutama para tenaga pendidiknya, ditunjang dengan fasilitas teknologi dan alat-alat praktikum yang berkualitas. Dengan demikian, iklim entrepreneurship akan bergema di seluruh komunitas pendidikan. Peserta didik harus dibekali dengan beberapa pengetahuan yang merupakan identitas serta ciri yang melekat pada diri seseorang wirausaha, seperti inovasi, cara pengambilan keputusan, sikap tanggap terhadap perubahan, bekerja ekonomis dan efisien, visi, misi masa depan, dan sikap berani mengambil risiko.


Sekarang, hampir semua perguruan tinggi, termasuk universitas-universitas negeri besar di Indonesia harus bertarung habis-habisan memertahankan kehebatannya menghadapi kampus-kampus baru yang dinilai “seksi” dan menawan (karena kekuatannya pada teknologi informasi, sarana dan prasarananya yang megah, lokasinya di tengah kota, dan berbagai program internasionalnya).


Ini berarti kampus harus dikelola secara profesional untuk menjawab kebutuhan masa depan. Kampus memerlukan investasi-investasi baru yang dana-dananya harus dicari dari berbagai sumber, misalnya badan penyelenggaranya (Yayasan untuk PTS) mendirikan berbagai lembaga usaha yang profitmaking tetapi tetap dalam rambu-rambu nirlaba.


Untuk itu semua, badan hukum penyelenggara pendidikan harus secepatnya mengadakan perubahan budaya dan paradigma baru, yakni dengan cara melakukan transformasi dari bureaucratic university menjadi corporate university.


Pemimpin perguruan tinggi dan badan penyelenggaranya harus melakukan perubahan kultural, khususnya budaya korporat, agar seluruh civitas akademika bekerja dengan nilai-nilai baru yang cocok dengan tuntutan zaman.


Bahkan untuk menjadi rektor/ketua/direktur/dekan pun ditekankan adanya jiwa kewirausahaan.


Mekanisme pemilihan pimpinan perguruan tinggi, mulai perumusan syarat-syarat menjadi pimpinan perguruan tinggi perlu disempurnakan.


Perlu dibentuk suatu lembaga pemangku kepentingan (seperti MWA untuk PTN) yang memberikan arah masa depan perguruan tinggi secara non-akademik.


Organisasi-organisasi di perguruan tinggi juga harus dibenahi.


Mulai dipisahkan antara commercial ventures and noncommercial ventures. Setelah itu, perguruan tinggi dan badan hukum penyelenggaranya mulai membentuk paradigma atau budaya korporat baru.


Untuk menjadi perguruan tinggi berkualitas global, paling kurang ada delapan unsur yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut. 1. Kualitas dosen, termasuk dosen-dosen praktisi ternama. 2. Kuantitas dan kualitas dosen tetap yang memiliki jenjang jabatan akademik yang memadai. 3. Kuantitas dan kualitas proses pembelajaran. 4. Kualitas perpustakaan 5. Kualitas penyajian materi kuliah. 6. Proses penilaian prestasi belajar. 7. Peran alumni. 8. Sarana dan prasarana pendidikan

Kamis, 11 September 2008

Konduktor Bangsa


Yang terpenting bagi bangsa Indonesia adalah kebangkitan dan upaya mengembalikan martabat serta harga diri. Dan, itu hanya dapat diwujudkan jika kita sebagai bangsa menemukan konduktor yang baik. Sayang, konduktor bangsa Indonesia sekarang ini belum mumpuni. Untuk menghadapi kondisi bangsa yang demikian berat dan ruwet (complicated), diperlukan konduktor yang visioner, sabar, tabah, jujur, dan ulet