Senin, 20 Juli 2009

GURU PROFESIONAL

Teaching Revolution: Strategi Pembelajaran Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan Menuju Guru Profesional

GURU PROFESIONAL*
Thomas Suyatno**


Pengantar

Panitia Seminar Nasional Pendidikan kerjasama LPPI dengan STDI meminta saya untuk membahas tema Teaching Revolution: Kreativitas Pembelajaran Menuju Guru Profesional. Tema ini merupakan subtema dari tema seminar Teaching Revolution: Strategi Pembelajaran Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan Menuju Guru Profesional.

Topik yang ditawarkan oleh Panitia menurut hemat saya sangat luas, oleh karena itu saya ingin membatasi pembahasan saya mengenai hal yang sangat penting dan mendasar dalam dunia pendidikan kita yaitu guru profesional. Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Pengertian Profesional
Kata “profesional” mengandung arti sebuah “keahlian” dan “kepakaran” Keahlian seseorang dapat dinilai berdasarkan asas kepatutan dan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketika kaidah, aturan, dan tuntutan diberlakukan pada sebuah tatanan profesi, khususnya dunia pendidikan maka yang menjadi tujuannya adalah guru.
UU RI Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan profesional adalah, “pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Kata atau istilah profesi , dan juga profesional dan profesionalisme, sengat sering kita dengar dan temukan dewasa ini, bahkan sering tanpa memahami pengertian yang sebenarnya. Kata profesional dam profesionalisme menjadi semacam istilah kunci bagi kehidupan modern. Semua orang seakan berlomba-lomba menjadi orang yang yang profesional, dan sejalan dengan itu selalu didengungkan agar kita perlu meningkatkan profesionalisme kita.

Sonny Keraf (2006:35) mengutip Richard T. De George menyatakan timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri sehubungan dengan istilah profesi, profesional, dan profesionalisme yang dipakai secara obral dalam hampir semua segi kehidupan. Kebingungan itu timbul karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam profesi tertentu, atau sebaliknya banyak orang yang termasuk dalam profesi tertentu belum tentu profesional. Kebingungan ini juga dapat disebabkan aspek yang ditekankan orang tertentu ketika ia berbicara tentang kaum profesional dan profesionalisme dapat berbeda-beda satu dari yang lainnya.

Yang dimaksudkan dengan profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purnawaktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Dengan kata lain, orang profesional adalah orang yang melakukan pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut. Tambahan lagi, orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh dirinya dan dengan giat, tekun, dan serius menjalankan pekerjaannya itu. Karena, dia sadar dan yakin bahwa pekerjaannya telah menyatu dengan dirinya. Pekerjaannya itu membentuk identitas dan kematangan dirinya, dan karena itu dirinya berkembang bersama perkembangan dan kemajuan pekerjaannya itu. Ia tidak lagi sekadar menjalankan pekerjaannya sebagai hobi, sekadar mengisi waktu luang, atau secara asal-asalan. Komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya. Contoh paling konkret adalah guru dan profesi guru.

Pengertian Guru

Dalam konteks sosial budaya Jawa, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata digugu lan ditiru (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berbunyi ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psikologis tersendiri bagi para guru.

Dalam UU Guru dan Dosen {pasal 1 ayat (1)} dinyatakan bahwa: ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”

Hakikat Guru

Sumartono (2004:56) menyatakan guru merupakan salah satu komponen utama dalam sistem pendidikan yang sangat memengaruhi hasil pendidikan. Relasi guru dan siswa bukan relasi kekuasaan yang menumbuhkan rasa takut dan siswa harus selalu tunduk, melainkan relasi kewibawaan yang menumbuhkan kesadaran pribadi untuk belajar. Kewibawaan muncul karena kemampuan guru menampakkan integritas (kebulatan, keutuhan) pribadinya, sikap yang mantap karena kemampuan profesionalnya. Setidak-tidaknya bagi siswa, guru adalah agen pembaruan. Dia berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai sosial masyarakatnya. Guru menjunjung tinggi kode etik profesional, dan secara profesional pula dia bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu dirinya. Di samping itu, dia harus bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa.

Guru bukanlah sosok manusia yang serba tahu. Tetapi juga bukan manusia yang serba tidak tahu. Dia merupakan salah satu tonggak dari lingkungan belajar siswa. Guru bukanlah tukang bertanya sehingga siswa hanya pasif menunggu pertanyaan lalu menjawab pertanyaan tsb., tetapi guru juga bukan tukang jawab semua pertanyaan siswa, karena boleh jadi siswa lain dapat menjawabnya. Peran guru hakikatnya bukanlah penceramah, yang menyebabkan siswa hanya pasif mendengarkan, melainkan motivator, pemberi motivasi agar siswa mau belajar. Dia menjadi fasilitator, yang membuat siswa mudah belajar dan melakukan perilaku belajar, yang membuat siswa mudah mencari dan menemukan sumber belajar.

Tugas Guru
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui siswa dan seharusnya diketahui oleh siswa.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu siswa agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri, dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu ke arah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu siswa untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD RI 1945.
Ketiga: tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator, dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi siswa maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktik-praktik komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada siswa harus mampu membuat siswa itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin kompleks dan harus mampu membuat siswa berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena siswa ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbol-simbol dan tanda-tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Peran Guru
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan siswa agar siswa itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan siswa untuk memeroleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu, tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan siswa. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan siswa harus mengontrol setiap aktivitas siswa agar tingkah laku siswa tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Peran guru sebagai model atau contoh bagi siswa. Setiap siswa mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu, tingkah laku pendidik baik guru, orang tua, atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar: ”setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial siswa”. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga siswa memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.

Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan zaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan dan tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai orang setia dalam lembaga pendidikan: “seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya”. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi dan/atau pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat: ”seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan”. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang yang dikuasainya.
Guru sebagai administrator: ”seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran”. Oleh karena itu, seorang guru dituntut bekerja menggunakan administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar, dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Ada tiga elemen pokok untuk menyiapkan guru yang profesional termasuk di dalamnya guru yang memiliki strategi pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan.
  1. Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimana pun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya, biar bagaimana pun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
  2. Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi, di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.

  3. Pendidikan terhadap guru atau pendidik dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis ke arah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan dia menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif memelajarinya dan memelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memerhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.


Guru yang profesional

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru adalah kompetensi profesional. Kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Yang dimaksud dengan penguasaan materi secara luas dan mendalam dalam hal ini termasuk penguasaan kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme Guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang, dan jenis pendidikan yang sesuai.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad ke-21, yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut memengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional. Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep link and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Selain itu, ke depan dalam waktu yang tidak terlalu lama, kemampuan, penguasaan, dan terampil dalam menggunakan model pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan menggunakan e-learning suatu saat akan menjadi keharusan untuk seorang guru yang profesional.

Kosakata yang muncul dan populer bersamaan dengan hadirnya TIK dalam dunia pembelajaran adalah e-learning, singkatan dari electronic learning. Secara sederhana, e-learning dapat dipahami sebagai pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer, dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet) dan multimedia (grafis, audio, dan video), sebagai media utama penyampaian materi dan interaksi antara pengajar dengan pembelajar.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru profesional adalah menguasai multimetode pengajaran di kelas. Seiring dengan perkembangan di bidang TIK, khususnya komputer dan internet, suka atau tidak, seorang guru dituntut belajar menggunakan metode pengajaran berbasis TIK. Untuk bisa memanfaatkan metode tersebut, guru harus mengenal dan terampil mengoperasikan komputer serta mampu menggunakan internet sebagai sumber belajar, media, dan pendukung pengelolaan proses belajar mengajar. E-learning merupakan salah satu dari strategi pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan.

Jika kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut.

  1. Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
  2. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
  3. Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
  4. Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri atau karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.



Kesimpulan

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bagaimana guru yang profesional itu. Seorang guru disebut profesional jika ia (1) mempunyai legalitas atau latar pendidikan formal sebagai guru: ia mempunyai sertifikat kemampuan mengajar, (2) menguasai sekurang-kurangnya satu bidang studi yang digelutinya, (3) menguasai teknologi informasi. Sering juga dikatakan bahwa seorang guru harus bermutu, dan guru yang bermutu itu ialah guru yang bermutu secara profesional. Di samping itu, guru harus bermutu (1) secara pribadi, mampu menunjukkan perilaku dalam berpikir, berbicara, dan bertindak yang menunjukkan kematangan pribadi meliputi watak, moral, iman, spiritualitas, sikap, dan (2) secara sosial, mampu menunjukkan interaksi sosial: dalam kerja sama, komunikasi, melayani dengan siswanya, sesama guru, dan orang tua siswa, serta masyarakat luas.


Dengan lahirnya guru yang profesional dalam arti yang sesungguhnya, maka diyakini masyarakat tidak akan lagi melihat "sebelah mata" kepada profesi ini. Efek dominonya adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak.


25 Januari 2009
Thomas Suyatno


SUMBER BACAAN


Gaspersz, Vincent. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Keraf, Sony. Paradigma Pendidikan Universal. Jakarta: IRCISoD, 2004.

Mastuhu, M. Sistem Pendidikan Nasional Visioner. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sumartono. Politik Pendidikan—Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakraya, 2006.

Tampubolon, Daulat P. Perguruan Tinggi Bermutu—Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional—Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisasi dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

* Makalah ini disajikan dalam Seminar yang diadakan oleh Solo Teacher Development Institute di Boyolali, pada 25 Januari 2009.
** Thomas Suyatno adalah seorang Profesor/Guru Besar di bidang Ekonomi/Manajemen dan dosen Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.