Sabtu, 15 September 2012

KITA KOBARKAN KEMBALI MANIFESTASI & SEMANGAT KEBANGSAAN

PENDAHULUAN

Jika kita menyimak dan merenungkan lebih mendalam perjuangan dan perjalanan masyarakat Indonesia selama 104 tahun sejak kebangkitannya pada 20 Mei 1908, hati kita tergerak untuk bersyukur. Berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa.

Rasa syukur itu disertai permenungan secara reflektif –kritis-profetis terhadap pergulatan kita sebagai bangsa dan negara merdeka serta berdaulat selama 66 tahun. Rasa bersyukur itu disertai sikap terbuka dan rendah hati untuk mau belajar dari pengalaman. Rasa syukur itu juga disertai kemauan bersama untuk melakukan koreksi diri serta kemauan bersama untuk membangun masa depan yang semakin mewujudkan visi, misi, dan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sangatlah tepat tema yang diambil oleh PP PMKRI, yakni “Merajut Semangat Kebangkitan Nasional Dalam Mewujudkan Perubahan Bangsa yang Berdaulat dan Bermartabat”. Sangat tepat karena itulah jati diri perjuangan rakyat Indonesia sejak 104 tahun yang lalu dan hampir 66 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Itulah juga jati diri perjuangan kemerdekaan Indonesia, demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan dan kemakmuran segelintir manusia Indonesia yang dapat menikmati kebangkitan nasional dan kemerdekaan Indonesia.

Pada saat ini, ketika kita bersama-sama memeringati hari Kebangkitan Nasional yang ke-104, ke dalam dan ke luar, kita prihatin. Kita rasakan benar Ibu Pertiwi bersusah hati. Sejatinya, saat ini telah terjadi krisis kebangsaan. Hal ini antara lain ditandai dengan makin marak dan suburnya KKN di lembaga eksekutif (terutama), lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif; penegak hukum termasuk penegakan HAM yang lemah; carut marut dan amburadulnya dunia pendidikan; menumpuknya utang negara yang pada saat ini sekitar Rp1.867 triliun padahal cadangan devisa kita sekitar US$112 miliar; terguncangnya pilar kebersamaan masyarakat bangsa kita yang majemuk; semakin merosotnya disiplin nasional dari warga negara.

Semuanya tadi terasakan semacam ada rasa dan suasana kering di tengah-tengah gegap gempita masalah politik dan ekonomi. Ada semacam rasa terasing, tersingkir, terlantarkan, dan tertinggalkan.

I. VISI dan TANTANGAN

Keterlibatan Pengurus Pusat PMKRI dalam menyambut hari Kebangkitan Nasional yang ke-104 pantas diacungi jempol. Secara simbolis semangat dan jiwa kebangkitan nasional ditampilkan oleh berbagai kegiatan, baik secara tertutup maupun terbuka seperti sekarang ini. Pastaslah jika kita semua menyambutnya bersama-sama. Masyarakat, Ormas/Parpol, pemerintah, dan berbagai komponen bangsa ptriotik lainnya menyambutnya bersama-sama.

Di dalam perkembangan selanjutnya, perjalanan ditempuh tidak senantiasa seiring dan dalam semangat kebersamaan. Negara semakin membangun birokrasi dan aparaturnya lebih perkasa, yang menjadi penopang, perangkat, dan instrumennya. Perkembangannya lebih cepat dari perkembangan rakyat dan masyarakatnya. Terjadi bukan saja pemisahan, tetapi juga kesenjangan dan akhirnya proses koopsi yang berkelanjutan. Periode romantika, periode bulan madu, tidak mungkin berlangsung berlama-lama. Akan kembali ke kenyataan. Ada state, ada negara, ada society, dan masyarakat. Berbagai keharusan dan berbagai keperluan objektif akhirnya tanpa disadari dan tanpa disengaja memberikan dominasi kepada negara.

Makna hakiki dari kebangkitan nasional adalah memersatukan, membangkitkan paham dan kemauan untuk menempatkan kepentingan orang banyak lebih dulu dan di atas kepentingan golongan, kepentingan kelompok, kepentingan partai, dan kepentingan pribadi yang sedang berkuasa. Ide dan semangatnya bukan mengotak-kotakkan atau memisah-misahkan masyarakat, tetapi justru menerobos dan mengatasinya. Ide dan dinamikanya bukan ekslusif, melainkan inklusif. Tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan berjalan dalam kebersamaan, dalam komunikasi, dan dialog.
Dengan ide dan semangat kebangkitan nasional kita lanjutkan pembangunan nilai, tatanan, norma-norma, dan kaidah-kaidah nasionalisme kebangsaan yang kian mengendor—kian tererosi, kian carut-marut. Masyarakat madani yang ingin kita bangun adalah masyarakat Pancasila yang bebas, bertanggung jawab, bekerja ulet, disiplin, santun, damai—serta berorientasi kepada prestasi dan menciptakan berbagai keunggulan yang merupakan hasil kerja keras, cerdas, dan jujur. Melalui dan bersama-sama membangun masyarakat Pancasila itu, kita bangun prinsip, nilai, dan budaya demokrasi.

Jika penyelenggaraan pemerintah dan aparaturnya tidak transparan, tidak demokratis, dan tidak lurus bagi sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara, maka di dalam praktik yang terjadi adalah kotak-katik, pecah-belah, intrik, koopsi, dan macam-macam cara yang secara negatif memengaruhi berkembangnya proses demokratisasi yang sehat dari masyarakat. Pengembangan dan pembinaan sosial politik secara baik oleh pemerintah dan aparaturnya, para elite politik di lembaga legislatif, dan kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan, ikut memengaruhi kokoh atau kendornya persatuan dan kesatuan serta kokoh atau kendornya paham kebangsaan dan kebersamaan.

Jika penyelenggaraan pemerintahan lebih besar bobot perpolitikannya dari bobot kenegarawanannya, maka dampaknya terhadap persatuan dan kesatuan serta terhadap paham kebangsaan dan kebersamaan, akan surut. Paham kebangsaan dan kebersamaan memerlukan aktualisasi dan revitalisasi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan perubahan zaman.

Itulah kiranya, agenda yang minta perhatian, dalam usaha kita untuk merajut semangat kebangkitan nasional dalam mewujudkan perubahan bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Lepas dari semua bentuk penjajahan dalam segala dimensi dan aspeknya.


II. REFORMASI & PERUBAHAN

Perubahan zaman kembali menuntut hadir dan berperannya para pemimpin di lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif yang mau dan mampu mengatasi kelompok dan kepentingan kelompoknya. Sesuai dengan situasi yang demikian itu, yang dengan sendirinya harus dibangun bersama oleh semua komponen bangsa yang masih cinta kepada bangsa dan negaranya serta kepada visi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana termaktub pada Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 alinea ke-4.
Faktor transparansi dan keterbukaan yang didorong dan mendorong demokratisasi, tampaknya berjumpa dengan faktor lain belakangan ini yang tidak menguntungkan pemerintahan sekarang. Di antaranya, kenyataan bahwa wibawa pemerintahan, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif beberapa saat terakhir ini merosot. Surutnya wibawa orang-orang di berbagai lembaga tidak hanya terhadap masyarakat dan berbagai organisasi serta intitusinya, tetapi juga ke dalam , ke perangkat pemerintahan, perangkat lembaga legislatif, dan perangkat lembaga yudikatif.

Ketika perubahan-perubahan besar terjadi di dunia internasional atau global tidak disadari dan ketika praktik-praktik salah guna kekuasaan, wewenang, dan kesempatan serta koneksi dilakukan lagi oleh oknum-oknum di lembaga-lembaga tadi, munculah berbagai kasus seperti kita alami pada skandal Bank Century dan berbagai megaskandal lainnya. Sangat memrihatinkan dan menyesakkan. Mengapa kita tidak sadar bahwa perubahan itu memang menjadi komitmen reformasi yang mendorong terjadinya perubahan pemerintahan?

Masalah besar yang terutama ingin kita mintakan perhatian adalah agar elite politik, apalagi yang duduk di dalam pemerintahan, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, bahkan pimpinan Orpol dan Ormas, lebih serius dalam menangkap arus perubahan dan kondisi perubahan yang dilepaskan oleh gerakan reformasi pada 20 Mei 1998.

Perubahan zaman kembali menuntut hadir dan berperannya para pemimpin yang mau dan mampu mengatasi kelompok dan kepentingan kelompoknya. Kondisi di mana kita hidup, di tengah arus perubahan di dalam dan di tengah arus perubahan dari luar, kembali kita memerlukan peranan ide yang disegarkan dan diperbarui, memerlukan calon-calon pemimpin yang kembali dapat menangkap pertanda zaman, bahkan zaman perubahan serba cepat dan zaman penuh serba persaingan.

Dalam zaman pembangunan di segala bidang ternyata tidak mudah menumbuhkan pemimpin-pemimpin yang jujur dan ikhklas memerjuangkan kepentingan rakyat banyak. Yang terjadi saat ini justru para pemimpin yang condong ke faham dan praktik-praktik materialism, pragmatisme, transaksionalisme.


III. MEMBERI MAKNA 104 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

Dari momentum peringatan 104 tahun kebangkitan nasional, harus membersit kesadaran serta kemauan bersama untuk mengacarakan penanganan serta pengelolaan tantangan, hambatan,dan ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bukan hanya berbagai kesenjangan yang terjadi: antarwilayah, antarpelaku bisnis, antarmasyarakat di dalam menikmati hasi-hasil pembangunan, tetapi juga daya mampu dan kualitas kinerja bangsa Indonesia untuk bersaing di tataran regional dan global. Sekarang pun, di tengah-tengah kegembiraan kemajuan ekonomi Indonesia, kita sudah prihatin tentang kinerja ekspor kita yang terus merosot, neraca pembayaran kita yang mulai defisit, serta ketimpangan pendapatan per kapitan antarpenduduk.

Penyebab berbagai kesenjangan yang terjadi, terutama subjektif, membuat biaya sosial pembangunan kita tinggi. Merosotnya wawasan dan komitmen nilai kepatuhan pengendalian diri serta terjadi moral hazard di hampir semua lembaga mulai dari pusat sampai dengan daerah-daerah terpencil, merosot di hampir semua lingkungan hidup. Elite tidak memberikan contoh ugahari dan menahan diri, justru ikut terbawa arus. Kemampuan bangsa ini untuk membangun lewat cara yang demokratis dan transparan serta akuntabel, tetapi yang secara konsisten mengacu pada visi bangsa Indonesia, seperti yang tercantum dan terurai di dalam UUD Negara RI Tahun 1945, harap terus ditingkatkan.

Sekaranglah, pada saat kita memeringati bersama 104 tahun lahirnya hari kebangkitan nasional, kita bersama-sama, berdiri di depan kaca besar: “dengan rendah hati, agar mau mengoreksi dan dikoreksi, kita secara jujur tanpa topeng-topeng melihat kelebihan dan keberhasilan, sekaligus juga secara sengaja dan seksama, melihat serta mencari kelemahan dan kekurangan kita.

Tahu diri, harga diri sebagai bangsa merdeka dan berdaulat, terutama dipercaya dan dapat dipercaya, itulah modal yang tidak lekang oleh gegap gempitanya perubahan. Modal sosial itu merupakan resultan dari karakter, integritas, dan kemampuan profesional bangsa ini.

Kita bersyukur Republik Indonesia tetap tegak, melalui gelombang pasang surut. Republik Indonesia bukan saja tegak, tetapi berlangsung pula kearifan dalam mereorientasikan kehidupan bangsa kepada pembangunan yang berfokus pada pembangungan ekonomi. Di dalam semangat penuh syukur itulah, peringatan hari kebangkitan nasional memberikan makna, relefansi, dan api.


PENUTUP

Pada saat ini, ketika kita bersama-sama memeringati dan mensyukuri hari Kebangkitan Nasional dan menyongsong peringatan ke-67 hari Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2012, ke dalam dan ke luar kita prihatin. Kita rasakan benar bahwa Ibu Pertiwi bersusah hati.

Kita, ada kalanya merasa kecil hati ketika sekilas memeroleh kesan, bahwa kita semua, terutama para pemimpin bangsa, para elite politik, pimpinan partai politik, dan pimpinan ormas menunjukkan ketidakpedulian. Mereka terlihat lebih dikejar-kejar oleh urusan partai, kelompok, golongan, pribadi yang lebih dipreferensikan.

Di tengah carut-marutnya pergulatan dan perjuangan bangsa Indonesia saat ini, ada baiknya kita dendangkan lagu: “Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati, airmatanya berlinang, mas intannya terkenang. Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan”. Kini Ibu Pertiwi sedang lara, merintih, dan berdoa.

Untuk itu, kita memerlukan restorasi Indonesia—pembaruan di segala bidang-memerlukan gerakan yang menempatkan kembali nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sebagai bintang kejora kemajuan dan perkembangan bangsa. Kita memerlukan reformasi total, yang tidak kompromistis di dalam membersihkan semua bentuk kebusukan, terutama KKN dan kemunafikan yang melumpuhkan kekuatan bangsa dari dalam. Kita memerlukan kepemimpinan yang mempunyai keberanian moral untuk membawa bangsa Indonesia di jalan jati dirinya, yang menjadi anutan dan teladan manusia Indonesia yang berkarakter, bukan manusia oportunis dan munafik.



Makalah ini disajikan di dalam acara Diskusi Publik yang bertemakan: “Merajut Semangat Kebangkitan Nasional Dalam Mewujudkan Perubahan Bangsa Yang Berdaulan dan Bermartabat”, yang diselenggarakan oleh PP PMKRI, pada Senin, 21 Mei 2012 bertempat di Margasiswa I PMKRI, Jln. Sam Ratulangi No.1, Menteng, Jakarta Pusat.

Jumat, 14 September 2012

67 TAHUN INDONESIA MERDEKA, Paradoks atau Ironi?


Pada saat-saat menjelang peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka, ada baiknya kita memahami implikasi dan konsekuensi bahwa kemerdekaan kita merupakan hasil pergerakan nasional dan revolusi. Kenyataan sejarah itu berarti bahwa, rakyat Indonesia selama berpuluh tahun terlibat secara aktif di dalam pergerakan dan kemudian dalam revolusi 17 Agustus 1945. Berlangsung proses penyadaran, pendidikan, dan pencerahan sosial politik di antara rakyat secara berkepanjangan, terus-menerus, luas, dan mendalam.

Itulah latar belakang hadirnya organisasi kemasyarakatan dan kerakyatan di dalam sejarah kita, yang banyak di antaranya menjadi organisasi yang besar dan perannya menentukan. Barang siapa mengalami atau mempunyai kenangan serta pengalaman tentang zaman revolusi, pasti masih menyimpan jelas gambaran bahwa betapa seluruh rakyat terlibat dalam revolusi kemerdekaan. Hal itu juga terlihat dari catatan dan analisis sejarah yang disusun oleh para ilmuwan sejarah, baik dari dalam maupun luar negeri. Pergerakan dan revolusi Indonesia melibatkan secara langsung pergerakan rakyat melalui berbagai gerakan dan organisasinya yang mencerminkan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ya, majemuk, sekaligus juga terikat pada komitmen dan kehendak bersama, yaitu memerjuangkan Indonesia Merdeka.

Apakah dampak dari pergerakan dan keterlibatan rakyat di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia? Kesadaran sosial politik rakyat yang tinggi. Oleh karena itu, rakyat menjadi gelisah dan resah ketika sistem sosial politik yang kemudian berkembang kurang atau tidak memberikan tempat kepada pergerakan rakyat lewat berbagai organisasinya. Terasa ada semacam rasa kering di tengah-tengah gegap-gempitanya pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan ekonomi. Ada semacam rasa terasing, tersingkir, terlantarkan, dan tertinggalkan. Tidaklah puas, sekiranya yang berlaku adalah pembangunan untuk rakyat tetapi tidak oleh rakyat. Apalagi ketika, fase-fase pembangunan yang disertai dengan kolusi dan korupsi membuat kesenjangan sosial ekonomi yang kian parah, juga kesenjangan antardaerah, antarpelaku ekonomi, bahkan antarindividu sehingga perasaan terasing, sepi, dan tertinggalkan, makin dirasakan.

Pergerakan dan keterlibatan rakyat yang kuat di dalam sejarah pergerakan dan kemerdekaan, pada batas tertentu masih dapat menerima argumen tentang timbulnya kesenjangan sosial ekonomi, secara rasional. Namun, sebetulnya secara emosional dan secara rasa keadilan, hal itu tidak dapat diterima. Oleh karena itu, terjadilah keresahan hati yang hanya sekali-sekali meletup ke permukaan walaupun kebanyakan lebih banyak tersimpan di dalam hati.

Kita memang patut bersyukur atas tetap tegaknya Republik Indonesia yang telah melalui gelombang pasang-surut. Kita juga bersyukur, bahwa Republik bukan saja tegak, tetapi berlangsung di dalam kearifan yang mereorientasikan kehidupan berbangsa kepada pembangunan, yang berfokus kepada pembangunan ekonomi.

Kita juga bersyukur karena bukan saja perikehidupan ekonomi yang meningkat lebih maju, melainkan juga keberhasilan di dalam menanamkan basis pembangunan, prasarana, institusi, dan sistem untuk kemajuan selanjutnya.

Namun, jika direnungkan lebih dalam, sebetulnya saat ini terjadi paradoks atau ironi yang kita alami: pembangunan, yang berhasil itu, justru membangkitkan rasa kekecewaan dan permasalahan, karena sekaligus disertai dengan kesenjangan sosial ekonomi yang makin membesar; karena disertai dengan ekses serta dampak ekonomi pasar yang tidak dikehendaki, misalnya tergusurnya berbagai kepentingan rakyat di dalam hal tanah, lokasi perumahan, dan usaha.

Inilah pekerjaan rumah kita yang sentral dan menentukan: kemauan dan konsistensi kita untuk memerbaiki kesenjangan, untuk secara lebih efektif, melaksanakan pembangunan berbagai dimensi dan aspeknya--yang kala masa pemerintahan Orde Baru dikenal dengan instilah Trilogi: pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.

Apa kendala dari usaha mengurangi dan mengendalikan kesenjangan? Secara objektif, untuk sebagian masalahnya terletak pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan atau antara pemerataan dan pertumbuhan. Memang, tidak mudah untuk menyeimbangkan keduanya sekaligus. Selain itu, kesulitan juga datang dari ekses dinamika ekonomi pasar serta berbagai pertimbangan perpolitikan yang tidak sanggup mengembangkan kekuatan yang bertanggung jawab dan yang dapat berperan sebagai countervailing force, kekuatan pengimbang terhadap power that be.

Seyogianya momentum peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka harus membersitkan kesadaran serta kemauan bersama untuk mengacarakan penanganan serta pengelolaan tantangan, hambatan, serta ancaman pokok bangsa Indonesia. Bukan saja kesenjangan sosial ekonomi, melainkan juga hal-hal subjektif yang menimbulkan ongkos social tinggi di dalam pembangunan kita. Wawasan dan komitmen nilai akan kepatuhan serta pengendalian diri, merosot hampir di semua lingkungan hidup. Etika bukan memberikan contoh ugahari dan menahan diri, melainkan justru ikut terbawa arus.

Masyarakat yang “kesepian” ikut-ikut mencari pelepasan di dalam berbagai bentuk seni budaya popular yang dijajakan secara massal oleh industri elektronik. Jika tidak tertahankan, kekerasan yang macam-macam bentuknya, menjadi pilihan lain.

Sejalan dengan tradisi keterlibatan rakyat dalam pergerakan dan perjuangan Indonesia Merdeka, gugatan juga dialamatkan ke bidang sosial politik, termasuk bidang hukum dan peradilan yang terkesan makin amburadul. Mulai banyak terabaikan hal-hal tentang bagaimana memberikan ruang gerak yang memadai bagi ekspresi serta usaha mewujudkan aspirasi; bagaimana memberikan ruang gerak yang memadai dan sesuai dengan semangat UUD Negara RI Tahun 1945, juga perihal hak berserikat, berkumpul, serta menyatakan pikiran secara lisan dan tertulis.

Komitmen kita yang bersih dan lurus, akan memengaruhi secara positif, kemauan serta kemampuan kita untuk membangun lewat jalan ekonomi pasar, dan secara konsisten harus mengacu kepada visi Indonesia, seperti yang tercantum dan terurai pada UUD Negara RI Tahun 1945.

Deviasi yang terjadi pada mulanya, mungkin untuk sebagiannya bersumber pada kemampuan kita di dalam tahap-tahap awal, yang serba mendesak itu, menyusun kombinasi yang pas antara ekonomi pasar yang kapitalistis dengan ekonomi pasar khas Indonesia. Namun, jika tidak diwaspadai, lambat laun, deviasi, dapat lebih banyak dipengaruhi oleh situasi yang memungkinkan berlangsungnya akumulasi kekuasaan secara sentral dan personal.

Sekali lagi, inilah saatnya, ketika kita memeringati bersama 67 tahun Indonesia Merdeka, kita bersama-sama, berdiri di depan kaca besar: dengan rendah hati, mau mengoreksi dan dikoreksi, serta melihat kelebihan dan keberhasilan, sekaligus juga secara sengaja dan seksama, melihat serta mencari kelemahan dan kekurangan kita.

Enam puluh tujuh tahun yang lalu, semua orang saling menyebut Bung, itulah wujud akar kerakyatan yang menjadi tema kembar peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka. Semua orang Bung. Artinya, tidak ada rasa enggan yang disebabkan oleh hidupnya kembali budaya kekuasaan dan budaya feodal.
Bung, Merdeka, Merdeka, Merdeka! Siapa yang merdeka? Hanya bangsa dan negara ataukah juga manusia Indonesia, manusia Merdeka Indonesia?
Dirgahayu 67 Tahun Indonesia Merdeka!

Jakarta, 1 Agustus 2012

Thomas Suyatno