Jumat, 14 September 2012

67 TAHUN INDONESIA MERDEKA, Paradoks atau Ironi?


Pada saat-saat menjelang peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka, ada baiknya kita memahami implikasi dan konsekuensi bahwa kemerdekaan kita merupakan hasil pergerakan nasional dan revolusi. Kenyataan sejarah itu berarti bahwa, rakyat Indonesia selama berpuluh tahun terlibat secara aktif di dalam pergerakan dan kemudian dalam revolusi 17 Agustus 1945. Berlangsung proses penyadaran, pendidikan, dan pencerahan sosial politik di antara rakyat secara berkepanjangan, terus-menerus, luas, dan mendalam.

Itulah latar belakang hadirnya organisasi kemasyarakatan dan kerakyatan di dalam sejarah kita, yang banyak di antaranya menjadi organisasi yang besar dan perannya menentukan. Barang siapa mengalami atau mempunyai kenangan serta pengalaman tentang zaman revolusi, pasti masih menyimpan jelas gambaran bahwa betapa seluruh rakyat terlibat dalam revolusi kemerdekaan. Hal itu juga terlihat dari catatan dan analisis sejarah yang disusun oleh para ilmuwan sejarah, baik dari dalam maupun luar negeri. Pergerakan dan revolusi Indonesia melibatkan secara langsung pergerakan rakyat melalui berbagai gerakan dan organisasinya yang mencerminkan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ya, majemuk, sekaligus juga terikat pada komitmen dan kehendak bersama, yaitu memerjuangkan Indonesia Merdeka.

Apakah dampak dari pergerakan dan keterlibatan rakyat di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia? Kesadaran sosial politik rakyat yang tinggi. Oleh karena itu, rakyat menjadi gelisah dan resah ketika sistem sosial politik yang kemudian berkembang kurang atau tidak memberikan tempat kepada pergerakan rakyat lewat berbagai organisasinya. Terasa ada semacam rasa kering di tengah-tengah gegap-gempitanya pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan ekonomi. Ada semacam rasa terasing, tersingkir, terlantarkan, dan tertinggalkan. Tidaklah puas, sekiranya yang berlaku adalah pembangunan untuk rakyat tetapi tidak oleh rakyat. Apalagi ketika, fase-fase pembangunan yang disertai dengan kolusi dan korupsi membuat kesenjangan sosial ekonomi yang kian parah, juga kesenjangan antardaerah, antarpelaku ekonomi, bahkan antarindividu sehingga perasaan terasing, sepi, dan tertinggalkan, makin dirasakan.

Pergerakan dan keterlibatan rakyat yang kuat di dalam sejarah pergerakan dan kemerdekaan, pada batas tertentu masih dapat menerima argumen tentang timbulnya kesenjangan sosial ekonomi, secara rasional. Namun, sebetulnya secara emosional dan secara rasa keadilan, hal itu tidak dapat diterima. Oleh karena itu, terjadilah keresahan hati yang hanya sekali-sekali meletup ke permukaan walaupun kebanyakan lebih banyak tersimpan di dalam hati.

Kita memang patut bersyukur atas tetap tegaknya Republik Indonesia yang telah melalui gelombang pasang-surut. Kita juga bersyukur, bahwa Republik bukan saja tegak, tetapi berlangsung di dalam kearifan yang mereorientasikan kehidupan berbangsa kepada pembangunan, yang berfokus kepada pembangunan ekonomi.

Kita juga bersyukur karena bukan saja perikehidupan ekonomi yang meningkat lebih maju, melainkan juga keberhasilan di dalam menanamkan basis pembangunan, prasarana, institusi, dan sistem untuk kemajuan selanjutnya.

Namun, jika direnungkan lebih dalam, sebetulnya saat ini terjadi paradoks atau ironi yang kita alami: pembangunan, yang berhasil itu, justru membangkitkan rasa kekecewaan dan permasalahan, karena sekaligus disertai dengan kesenjangan sosial ekonomi yang makin membesar; karena disertai dengan ekses serta dampak ekonomi pasar yang tidak dikehendaki, misalnya tergusurnya berbagai kepentingan rakyat di dalam hal tanah, lokasi perumahan, dan usaha.

Inilah pekerjaan rumah kita yang sentral dan menentukan: kemauan dan konsistensi kita untuk memerbaiki kesenjangan, untuk secara lebih efektif, melaksanakan pembangunan berbagai dimensi dan aspeknya--yang kala masa pemerintahan Orde Baru dikenal dengan instilah Trilogi: pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.

Apa kendala dari usaha mengurangi dan mengendalikan kesenjangan? Secara objektif, untuk sebagian masalahnya terletak pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan atau antara pemerataan dan pertumbuhan. Memang, tidak mudah untuk menyeimbangkan keduanya sekaligus. Selain itu, kesulitan juga datang dari ekses dinamika ekonomi pasar serta berbagai pertimbangan perpolitikan yang tidak sanggup mengembangkan kekuatan yang bertanggung jawab dan yang dapat berperan sebagai countervailing force, kekuatan pengimbang terhadap power that be.

Seyogianya momentum peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka harus membersitkan kesadaran serta kemauan bersama untuk mengacarakan penanganan serta pengelolaan tantangan, hambatan, serta ancaman pokok bangsa Indonesia. Bukan saja kesenjangan sosial ekonomi, melainkan juga hal-hal subjektif yang menimbulkan ongkos social tinggi di dalam pembangunan kita. Wawasan dan komitmen nilai akan kepatuhan serta pengendalian diri, merosot hampir di semua lingkungan hidup. Etika bukan memberikan contoh ugahari dan menahan diri, melainkan justru ikut terbawa arus.

Masyarakat yang “kesepian” ikut-ikut mencari pelepasan di dalam berbagai bentuk seni budaya popular yang dijajakan secara massal oleh industri elektronik. Jika tidak tertahankan, kekerasan yang macam-macam bentuknya, menjadi pilihan lain.

Sejalan dengan tradisi keterlibatan rakyat dalam pergerakan dan perjuangan Indonesia Merdeka, gugatan juga dialamatkan ke bidang sosial politik, termasuk bidang hukum dan peradilan yang terkesan makin amburadul. Mulai banyak terabaikan hal-hal tentang bagaimana memberikan ruang gerak yang memadai bagi ekspresi serta usaha mewujudkan aspirasi; bagaimana memberikan ruang gerak yang memadai dan sesuai dengan semangat UUD Negara RI Tahun 1945, juga perihal hak berserikat, berkumpul, serta menyatakan pikiran secara lisan dan tertulis.

Komitmen kita yang bersih dan lurus, akan memengaruhi secara positif, kemauan serta kemampuan kita untuk membangun lewat jalan ekonomi pasar, dan secara konsisten harus mengacu kepada visi Indonesia, seperti yang tercantum dan terurai pada UUD Negara RI Tahun 1945.

Deviasi yang terjadi pada mulanya, mungkin untuk sebagiannya bersumber pada kemampuan kita di dalam tahap-tahap awal, yang serba mendesak itu, menyusun kombinasi yang pas antara ekonomi pasar yang kapitalistis dengan ekonomi pasar khas Indonesia. Namun, jika tidak diwaspadai, lambat laun, deviasi, dapat lebih banyak dipengaruhi oleh situasi yang memungkinkan berlangsungnya akumulasi kekuasaan secara sentral dan personal.

Sekali lagi, inilah saatnya, ketika kita memeringati bersama 67 tahun Indonesia Merdeka, kita bersama-sama, berdiri di depan kaca besar: dengan rendah hati, mau mengoreksi dan dikoreksi, serta melihat kelebihan dan keberhasilan, sekaligus juga secara sengaja dan seksama, melihat serta mencari kelemahan dan kekurangan kita.

Enam puluh tujuh tahun yang lalu, semua orang saling menyebut Bung, itulah wujud akar kerakyatan yang menjadi tema kembar peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka. Semua orang Bung. Artinya, tidak ada rasa enggan yang disebabkan oleh hidupnya kembali budaya kekuasaan dan budaya feodal.
Bung, Merdeka, Merdeka, Merdeka! Siapa yang merdeka? Hanya bangsa dan negara ataukah juga manusia Indonesia, manusia Merdeka Indonesia?
Dirgahayu 67 Tahun Indonesia Merdeka!

Jakarta, 1 Agustus 2012

Thomas Suyatno

Tidak ada komentar: